Rabu, 27 April 2011

Problematika Belajar Bahasa Arab

    Sebelum kita menentukan pilihan pada lembaga mana kita akan percayakan program belajar bahasa arab kita, sebaiknya kita juga belajar dari beberapa pengalaman mereka yang pernah melakukan sebelumnya. Juga tidak ada salahnya kalau kita juga mendengarkan pengalaman mereka, baik telah sukses maupun yang gagal.
Kenyataannya memang harus diakui bahwa tekad kuat untuk belajar bahasa Arab, terutama buat kalangan muda muslim yang tidak pernah mengecap pendidikan pesantren berbahasa Arab, seringkali kandas di tengah jalan.
   Di Bontang belum pernah berdiri ma’had dan lembaga kursus yang mengajarkan bahasa Arab, kecuali Pesantren dan beberapa Masjid seperti Program Bahasa Arab di Masjid Al Furqon BTN ( Pesertanya adalah Karyawan dan Ibu-ibu ). Perlu digarisbawahi bahwa kursus Bahasa arab di Al Furqon bukanlah bertujuan untuk menciptakan para peserta menjadi seorang yang Cas-Cis-Cus atau mahir berbahasa arab. membutuhkan waktu sangat lama untuk menuju kesitu, namun diharapkan kelak peserta mampu memahami dan mampu berbicara dalam konteks pembicaraan sehari-hari (hayyati yauman). Tentu saja sangat berat untuk diharapkan “berhasil”, karena bagi peserta jelas bahwa pekerjaan lebih utama, dan sifat kursus ini juga "kalau sempat", artinya memang tidak ada aturan-aturan yang memberatkan. Dari kelas-kelas terbentuk kebanyakan keberhasilannya berjalan agak terseok-seok, kalau tidak mau dikatakan gagal total. Peserta yang semula 20 orang perkelas, pada akhirnya tinggal separoh atau bahkan kurang dari itu. Tak dipungkiri bahwa alasan klasik adalah kesibukan.  Apalagi sebagai karyawan dengan padatnya aktiftitas dikantor maupun ditempat kerja lainya nya, beberapa peserta yang absen beberapa kali pertemuan kemudian merasa ketinggalan dan kurang PD sehingga enggan untuk bergabung kembali. Beberapa yang masih punya "amunisi" memilih turun pangkat bergabung dengan kelas yang baru, tetapi karena kesibukan dikantor akhirnya kejadian pertama terulang lagi. Padahal sebenarnya hampir tidak ada peserta yang benar-benar bisa hadir setiap saat. Tidak seharusnya kita merasa malu untuk kembali bergabung setelah beberapa lama absen, karena semua sama tak ada yang bisa dikatakan "mahir", apa lagi bagi peserta yang benar-benar belum pernah mengenal bahsa arab. Saya merasa beruntung sekali meskipun diusia yang sudah "menua" begini baru sempat mengenal "sedikit" bahasa Arab, bagi saya pribadi kunci utama hanyalah semangat dan buang jauh-jauh rasa malu, meskipun didalam kelas lebih banyak "diam" dan "senyum" manggut-manggut. 

  Lembaga Kursus Bahasa arab pada umumnya mengalami kendala yang lebih kompleks dibanding apa yang ada di Al Furqon. Pada akhirnya  lembaga kursus  menyelenggarakan pengajaran bahasa dengan cara non-intensif. Kursus diselenggarakan seminggu sekali, atau seminggu dua kali. Sekali pertemuan hanya 2 atau 3 jam saja. Dilihat dari sisi keintensifannya saja, sudah terbayang kegagalannya.
Masalah kurikulum pengajaran pun seringkali malah menjadi faktor penghalang besar. Yaitu ketika para peserta dijejali dengan berbagai macam aturan, rumus, kaidah dan tetek bengeknya, tapi kurang praktek langsung. Bisa jadi secara teori mereka sangat paham, tapi giliran harus menggunakan bahasa itu baik secara lisan, tulisan atau pendengaran, semua jadi berantakan alias gagal total. Kasusnya mirip dengan orang yang belajar berenang secara teoritis, menguasai aturan gaya bebas, gaya kupu-kupu, gaya katak dan lainnya. Tapi giliran masuk kolam, tenggelam dan tidak timbul-timbul lagi. Sungguh menyedihkan memang.
Bahasa adalah Aplikasi
   Tempat belajar suatu bahasa yang paling baik bukan di dalam sebuah lembaga kursus, juga bukan di dalam sebuah kelas. Tempat belajar yang paling baik adalah di tempat dimana semua orang berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa tersebut.
Kalau Anda ingin pandai bahasa Jawa, sebaiknya Anda tinggal selama beberapa tahun di Jogjakarta atau di Solo. Terutama di pedesaan dimana masyarakat dengan setia menggunakan bahasa Jawa. Di sana Anda bukan hanya belajar kosa kata jawa, tetapi juga mendengar, melihat, memperhatikan, menirukan, serta beradaptasi secara langsung dengan cara komunikasi orang jawa. Sebab bahasa itu bukan sekedar kosa kata, tetapi termasuk juga tutur bahasa, cara mengungkapkan, cara melafalkan, bahkan termasuk bahasa tubuh, mimik dan intonasi. Dan semua bermula dari mendengar setiap saat ucapan. Pagi, siang, sore dan malam hari yang Anda dengar hanya percakapan orang-orang dalam bahasa Jawa.
Ini adalah cara belajar bahasa yang paling alami, paling mudah dan paling berhasil. Cara ini telah melahirkan jutaan anak-anak berusia 1 tahun hingga 5 tahun yang mahir berbahasa Jawa. Jangan kaget, kalau di Jogja dan Solo, rata-rata anak kecil mahir berbahasa Jawa
Dan jangan kaget juga kalau di Mesir dan negeri Timur Tengah lainnya, anak-anak mahir berbahasa Arab. Kalau anak kecil saja mahir berbahasa Arab, mengapa Anda yang sudah dewasa tidak bisa bahasa Arab?
Kesimpulannya adalah bahwa belajar bahasa itu membutuhkan sebuah komunitas orang-orang yang berkomunikasi dengan bahasa itu. Dimana kita ada di dalamnya dan ikut berinteraksi secara aktif.
Lembaga kursus bahasa Arab yang paling canggih sekalipun, kalau tidak mampu menghadirkan sebuah komunitas berbahasa arab, adalah lembaga yang tidak akan mampu melahirkan lulusan yang mahir berbahasa arab.
Beberapa Contoh
   Beberapa pesantren di negeri kita boleh dibilang lumayan berhasil melahirkan santri yang lumayan bisa berbahasa Arab. Katakanlah pesantren Darussalam Gontor Ponorogo , tempat dimana banyak tokoh nasional kita saat ini pernah belajar. Tapi keberhasilannya memang ditunjang dengan kebehasilan menciptakan komunitas berbahasa arab. Sebab semua santri tinggal di lingkungan pondok sehari 24 jam selama minimal 6 tahun. Yaitu sejak mereka lulus SD hingga mau masuk perguruan tinggi. Dengan resiko hukuman digunduli kalau ketahuan berbicara bahasa Indonesia.
Contoh lain yang boleh dibilang lumayan sukses adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab , yang merupakan sebuah ma’had pengajaran bahasa Arab di bawah naungan Universitas Islam Muhammad ibnu Suud Riyadh. LIPIA berlokasi di Jakarta, namun hampir semua pengajarnyaorang arab atau yang pernah bertahun-tahun kuliah di sana. Sehingga dari segi dzauq bahasa, ada kekuatan tersendiri. Setiap hari para mahasiswa ditenggelamkan dengan komunitas orang Arab betulan, sejak jam 7 pagi hingga jam 12 siang selama 7 tahun. Semua pelajaran disampaikan dengan bahasa Arab, meski tidak ada lagi hukuman gundul buat pelanggarnya.
Salah satu faktor keberhasilannya adalah karena setiap calon mahasiswa yang masuk diseleksi terlebih dahulu dengan sangat ketat. Hanya mereka yang lulus tes tertulis dan lisan dengan bahasa dan orang arab saja yang boleh kuliah disitu. Kalau sudah berhasil diwawancarai oleh orang Arab, bukankah sebenarnya sudah boleh dikatakan bisa berbahasa Arab?
Tapi LIPIA pun sempat merasakan kegagalan ketika membuka kelas non intensif yang hari kuliahnya hanya sore hari, itupun hanya 2 kali seminggu. Akhirnya, program ini dinilai kurang efektif dan tidak memenuhi target, lalu dibubarkan hingga sekarang ini.
Kesimpulan
   Menyimpulkan dari kisah sukses dua contoh lembaga pendidikan di atas, kuncinya adalah:
1. Adanya komunitas berbahasa arab yang tulen dan pekat
2. Masa pendidikan yang intensif, rutin dan padat
3. Waktu belajar yang cukup lama
4. Kemauan keras yang tidak pernah padam
Kunci yang terakhir itu menjadi faktor penentu terakhir, sebab tidak sedikit mereka yang sudah pernah masuk ke lembaga di atas, tetapi akhirnya tidak kuat di tengah jalan, kemudian jalan di tempat, berhenti dan mogok. Kalau keinginan yang dimiliki hanya sekedar semangat di awalnya saja, biasanya memang tidak akan bertahan lama....( Abu Majid )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar